Cari Blog Ini
Kamis, 14 Juni 2012
Cerita tentang kesabaran SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI menuntut ILMU
Kesabaran Syaikh Abdul Qaidr Al-Jailani dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah Mengais Sisa-sisa Makanan Karena
Lapar Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dalam kitabnya Dzailu
Thabaqatil Hanabilah,I:298, tentang biografi Imam Syaikh Abdul Qadir Al-
Jailani rahimahullah (wafat tahun 561 H.), “Syaikh Abdul Qadir berkata,
“Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob dari tepi kali
dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang
terjadi di Baghdad membuatku tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untukku makan. Suatu hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan
mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa ku makan.
Tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah
mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya,maka aku melihat orang-orang
miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena
mereka lebih membutuhkan. Aku pulang dan berjalan di tengah kota. Tidaklah aku melihat sisa makanan
yang terbuang, melainkan ada yang mendahuluiku mengambilnya. Hingga,
aku tiba di Masjid Yasin di pasar minyak wangi di Baghdad. Aku benar-benar
kelelahan dan tidak mampu menahan tubuhku. Aku masuk masjid dan duduk
di salah satu sudut masjid. Hampir saja aku menemui kematian. Tib-tiba ada
seorang pemida non Arab masuk ke masjid. Ia membawa roti dan daging panggang. Ia duduk untuk makan. Setiap kali ia mengangkat tangannya
untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, maka mulutku ikut terbuka,
karena aku benar-benar lapar. Sampai-sampai, aku mengingkari hal itu atas
diriku. Aku bergumam, “Apa ini?” aku kembali bergumam, “Disini hanya
ada Allah atau kematian yang telah Dia tetapkan.” Tiba-tiba pemuda itu menoleh kepadaku, seraya berkata, “Bismillah,
makanlah wahai saudaraku.” Aku menolak. Ia bersumpah untuk
memberikannya kepadaku. Namun, jiwaku segera berbisik untuk tidak
menurutinya. Pemuda itu bersumpah lagi. Akhirnya, akupun
mengiyakannya. Aku makan dengantidak nyaman. Ia mulai bertanya
kepadaku, “Apa pekerjaanmu? Dari mana kamu berasal? Apa julukanmu?” Aku menjawab, “Aku orang yang tengah mempelajari fiqih yang berasal
dari Jailan bernama Abdul Qadir. Ia dikenal sebagai cucu Abdillah Ash-
Shauma ‘I Az-Zahid?” Aku berkata, “Akulah orangnya.” Pemuda itu gemetar dan wajahnya sontak berubah. Ia berkata, “Demi
Allah, aku tiba di Baghdad, sedangkan aku hanya membawa nafkah yang
tersisa milikku. Aku bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang
menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis. Selama tiga hari ini aku tidak
mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang ada padaku.
Bangkai telah halal bagiku (karena darurat). Maka, aku mengambil barang titipanmu, berupa roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan
tenang. Karena, ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang
sebelumnya kamu adalah tamuku.” Aku berkata kepadanya, “Bagaimana ceritanya?” Ia menjawab, “Ibumu
telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar untukmu. Aku menggunakannya
karena terpaksa. Aku meminta maaf kepadamu.” Aku menenangkan dan
menenteramkan hatinya. Aku memberikan sisa makanan dan sedikit uang
sebagai bekal. Ia menerima dan pergi.” Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Zam-Zam
Mata Air Ilmu, 2008
Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-
Mathbu’at Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar