Cari Blog Ini

Minggu, 05 Agustus 2012

LIANG KUBUR ADALAH perjalanan pertama kita ke akhirat


Khalifah kaum muslimin yang keempat ketiga Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu jika melihat perkuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya. Suatu hari ada seorang yang bertanya: ؟ﺍﺬﻫ ﻦﻣ ﻲﻜﺒﺗﻭ ﻲﻜﺒﺗ ﻻﻭ ﺭﺎﻨﻟﺍﻭ ﺔﻨﺠﻟﺍ ﺮﻛﺬﺗ “Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat
perkuburan?” Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ﻩﺪﻌﺑ ﺎﻤﻓ ﻪﻨﻣ ﺎﺠﻧ ﻥﺈﻓ ﺓﺮﺧﻵﺍ ﻝﺯﺎﻨﻣ ﻝﻭﺃ ﺮﺒﻘﻟﺍ ﻥﺇ
ﻪﻨﻣ ﺪﺷﺃ ﻩﺪﻌﺑ ﺎﻤﻓ ﻪﻨﻣ ﺞﻨﻳ ﻢﻟ ﻥﺇﻭ ﻪﻨﻣ ﺮﺴﻳﺃ “Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka
perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan)
selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani
menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih) Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah masuk di alam kubur? Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan
perjalanan para manusia di alam kuburnya: Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada
burung gagak yang hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong dahan di
tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada
Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak
lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat
yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu
duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang. Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa
dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa
yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut
sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata
diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi
wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi. Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit
mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’, jawab
para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya
di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di
langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di sanalah
Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta
darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’ Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang
memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’
jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’ sahutnya. Mereka
berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam” jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku
membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian
darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga
(memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang. Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan
berbau harum sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu’.
Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku adalah amal
salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat,
karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku. Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan
(keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu
mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya
seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’.
Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi
mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata
diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus
dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi. Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya,
‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan
namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya,
namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah: ﺞﻠﻳ ﻰﺘﺣ ﺔﻨﺠﻟﺍ ﻥﻮﻠﺧﺪﻳ ﻻﻭ ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﺏﺍﻮﺑﺃ ﻢﻬﻟ ﺢﺘﻔﺗ ﻻ
ﻁﺎﻴﺨﻟﺍ ﻢﺳ ﻲﻓ ﻞﻤﺠﻟﺍ “Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk
surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40) Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di dalam Sijjin di bawah bumi’, Kemudian nyawa itu
dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala: ُﺮْﻴَّﻄﻟﺍ ُﻪُﻔَﻄْﺨَﺘَﻓ ِﺀﺎَﻤَّﺴﻟﺍ َﻦِﻣ َّﺮَﺧ ﺎَﻤَّﻧﺄَﻜَﻓ ِﻪﻠﻟﺎِﺑ ْﻙِﺮْﺸُﻳ ﻦَﻣَﻭ
ٍﻖْﻴِﺤَﺳ ٍﻥﺎَﻜَﻣ ﻲِﻓ ُﺢْﻳِّﺮﻟﺍ ِﻪِﺑ ﻱِﻮْﻬَﺗ ْﻭَﺃ “Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu
disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31) Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang
mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka
berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua
bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya.
Saat itu terdengar seruan dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan
pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya. Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk,
seraya berkata, ‘Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan
bagimu’. Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku
adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang
kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak
(I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156) Itulah dua model kehidupan orang yang telah masuk liang kubur. Jika kita menginginkan untuk menjadi
orang yang dibukakan baginya pintu ke surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata memandang maka
mari kita berusaha untuk memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini. Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga memenuhi dua syarat: 1. Ikhlas 2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
merupakan landasan dua syarat di atas. Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah ta’ala: َﺀﺎَﻔَﻨُﺣ َﻦﻳِّﺪﻟﺍ ُﻪَﻟ َﻦﻴِﺼِﻠْﺨُﻣ َﻪَّﻠﻟﺍ ﺍﻭُﺪُﺒْﻌَﻴِﻟ ﻻِﺇ ﺍﻭُﺮِﻣُﺃ ﺎَﻣَﻭ
ِﺔَﻤِّﻴَﻘْﻟﺍ ُﻦﻳِﺩ َﻚِﻟَﺫَﻭ َﺓﺎَﻛَّﺰﻟﺍ ﺍﻮُﺗْﺆُﻳَﻭ َﺓﻼَّﺼﻟﺍ ﺍﻮُﻤﻴِﻘُﻳَﻭ “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian
itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5) Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ﺩﺭ ﻮﻬﻓ ﺎﻧﺮﻣﺃ ﻪﻴﻠﻋ ﺲﻴﻟ ًﻼﻤﻋ ﻞﻤﻋ ﻦﻣ “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan
ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718)) Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-Nya di akhir surat Al-Kahfi: ٌﻪَﻟِﺇ ْﻢُﻜُﻬَﻟِﺇ ﺎَﻤَّﻧَﺃ َّﻲَﻟِﺇ ﻰَﺣﻮُﻳ ْﻢُﻜُﻠْﺜِﻣ ٌﺮَﺸَﺑ ﺎَﻧَﺃ ﺎَﻤَّﻧِﺇ ْﻞُﻗ
ﻻَﻭ ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ ﻼَﻤَﻋ ْﻞَﻤْﻌَﻴْﻠَﻓ ِﻪِّﺑَﺭ َﺀﺎَﻘِﻟ ﻮُﺟْﺮَﻳ َﻥﺎَﻛ ْﻦَﻤَﻓ ٌﺪِﺣﺍَﻭ
ﺍًﺪَﺣَﺃ ِﻪِّﺑَﺭ ِﺓَﺩﺎَﺒِﻌِﺑ ْﻙِﺮْﺸُﻳ “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh
dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110) Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beramal saleh.
Semoga kelak kita mendapatkan kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari siksaan di dalamnya, amin. Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-Mu’minin Fi Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi Ightinam Mawasim
Rabb Al-’Alamin, karya Fu’ad bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86) **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar